"Tidak ada yang mencintai kita melebihi orang tua kita", lalu, bagaimana dengan orang tuaku?
Ternyata, sama saja.
Padahal sudah beberapa hari berlalu sejak aku menonton "Adam", namun film ini masih terus terngiang di pikiranku. Rasanya aku harus segera mereview film ini supaya lega, haha.
Adam (2019) adalah film pendek dari Singapura yang disutradarai oleh Shoki Lin sebagai thesis film (semacam tugas akhir/skripsi) untuk gelar S1-nya di Nanyang Technological University (cmiiw). Film ini juga mendapat nominasi pada Festival Film Cannes, sebuah penghargaan bergengsi di dunia film, dan sangat luar biasa karena bisa diraih oleh filmmaker muda seperti Shoki Lin! Kejadian ini bagai menumbuhkan harapan bagi filmmaker lain, terutama (yang katanya) mahasiswa-mahasiswa film untuk semangat bikin filmnya.
Tapi, di balik itu semua, kenapa film ini pantas mendapat penghargaan?
Yaa, salah satunya karena mampu memberikan kesan mendalam kepada penontonnya, termasuk aku.
Film ini menceritakan tentang Adam, yang sudah lelah hidup dengan kekacauan di keluarganya, kemudian ia berusaha mencari hidup yang lain di luar sana.
Ayo tonton dulu trailernya.
Mungkin kamu adalah Adam, atau hidup berdekatan dengan Adam...
Sebenarnya, saat pertama melihat film ini, aku langsung berpikir kalau baik di Indonesia dan Singapura sama saja, ya. Wajar sih karena negara tetangga juga, kan, haha.
Aku kagum dengan cara filmmakernya mengemas the desperate feeling of Adam. Rasanya kita yang nonton itu jadi ikutan patah hati.
Jalannya film ini sangat terstruktur dan rapi, mulai dari babak pengenalan penonton kepada karakter Adam, dengan lingkungannya...
Aku sangat suka bahwa film ini dimulai dengan adegan Adam yang bermain mobil remote control di tangga lorong apartemen yang sempit, yang bahkan mobil-mobilannya itu harus jatuh-jatuh dulu melewati tangga untuk bisa jalan, dan ajaibnya mobilannya masih hidup dan bisa berfungsi! Aku memandang adegan itu bagai semiotika tentang hidup Adam yang tengah melalui keterpurukan, namun tetap kuat.
Adam dan keluarganya yang terdiri dari bapak, ibu, dan adik bayinya tinggal di salah satu kamar apartemen kecil bertingkat, yang tampak seperti rusun kalau di Jakarta. Kamar yang kecil itu terasa semakin sesak oleh tangisan bayi serta amarah orang tua yang terus tumpah kepada Adam. Aku melihat apartemen itu bagaikan penjara untuk Adam, dan di luar apartemen ia seperti bisa bernafas lebih lega. Lorong-lorong sempit, jemuran baju di lorong depan kamar, bahkan sangat diperhatikan oleh filmmakernya untuk menunjang cerita.
Kekacauan di keluarga Adam tidak sekedar suara ribut saja, namun kupikir Adam semakin merasa muak karena amarah orang tuanya selalu diluapkan kepadanya, sedangkan adik bayinya selalu diperhatikan. Terus menerus dibentak, hingga Adam tidak mendapat kebebasan berbicara maupun berekspresi, sampai ke titik ia mungkin berpikir "mengapa aku harus hidup seperti ini?"
Adam pun keluar dari kamar apartemen, mencoba mencari hidup baru, lalu ia datang kepada kenalannya, seorang mak cik yang berprofesi sebagai guru.
Film ini menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Mandarin yang digunakan oleh keluarga Adam, dan Bahasa Melayu yang digunakan Ibu Guru kepada Adam. Aku menangkap bahwa perbedaan bahasa ini bukan sekedar menampilkan bahasa-bahasa apa saja yang lumrah digunakan masyarakat di Singapura, namun lebih kepada perbedaan hidup yang sedang dijalani maupun yang ingin dijalani oleh Adam. Mungkin, bagi Adam yang selalu dibentak oleh orang tuanya menggunakan bahasa Mandarin, mendengar tutur halus berbahasa Melayu dari Ibu guru bagaikan dunia yang sungguh berbeda.
Adegan paling menyayat hati pada film ini, bagiku, adalah saat Adam belajar mengutarakan keinginannya untuk tinggal dengan Ibu guru menggunakan bahasa Melayu. Selain latihan berbicara bahasa Melayu, adegan ini juga merupakan satu-satunya waktu ketika Adam mengekspresikan keinginannya.
Adam hidup tak terurus, dan Ibu guru menyadari hal tersebut...
Namun pada akhirnya sama saja.
Siapa yang akan mencintai saya? Mungkin begitu jerit hati Adam.
"ADAM" menceritakan kisah sederhana dengan penuh ketulusan.
Apa dari review singkatku ini, terpikirkan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh kita, orang dewasa?
Sekian review saya. Akhirnya lega bisa menuliskannya :)
2 Komentar
Terimakasih sudah menulis review tentang 'ADAM' (Shoki Lin / Singapore / 2019 / Fiction / 19:33). Film ini masuk dalam Official Selection dan ditayangkan di layar Minikino Film Week 6, tahun lalu (2020) (https://minikino.org/filmweek).
BalasHapusSemoga 'ADAM' bisa mendapat perhatian yang lebih besar lagi melalui review-review personal seperti ini.
waaah di-notice sama minikino~ thank you admin, good luck untuk MFW 7!
BalasHapus