Sejak pertama kali judul film "Akhirat: A Love Story" ini rilis ke publik, aku terpikir sesuatu. Kenapa harus pakai embel-embel "A Love Story"? Pakai Bahasa Inggris pula. Ternyata, setelah mendapatkan tiket nonton yang sudah tercetak di bioskop, aku baru mengerti.
Kalau judulnya "Akhirat" saja, akan terasa horor.
Film ini menawarkan hal yang menarik dibanding sekadar kisah percintaan anak muda. Ada sebuah isu yang tampaknya akan selamanya ada di Indonesia, yaitu perbedaan agama. Sepengamatanku, sutradara Jason Iskandar sepertinya sudah memiliki perhatian dengan isu perbedaan agama sejak Ia membuat film dokumenter Indonesia Bukan Negara Islam (2009). Apabila bicara soal genre fantasy-romance yang diusung pada film panjang pertamanya ini, kurasa sutradaranya sudah lebih berpengalaman selepas membuat film pendek Dan Kembali Bermimpi (2018) dengan genre dan isu yang mirip.
Kedua film yang kusebutkan tadi, aku rekomendasikan untuk ditonton, bahkan sebelum menonton Akhirat: A Love Story ini. Aku bukannya mau membandingkan film terbarunya dengan film-film yang ia buat sebelumnya, namun aku percaya, kalau film yang ada sekarang, adalah hasil dari pengalaman-pengalamannya membuat film di masa lalu.
Judul "Akhirat: A Love Story" adalah kata kunci dalam film ini. Kata "Akhirat", seakan ingin menyampaikan kepada penonton tentang masa depan, kemana langkah hidup selanjutnya. "A Love Story" adalah kisah cinta kedua tokoh utamanya, Timur dan Mentari. Film ini menawarkan kepada penonton tentang perjalanan kisah cinta mereka saat menuju akhirat.
Sepanjang film, Timur dan Mentari berusaha untuk tetap bersama walau dunia menolak untuk mengakui cinta mereka, akibat perbedaan agama yang mereka miliki. Film ini mempermainkan emosi penonton dengan harapan mereka bisa bersama pada akhirnya. Ditambah dengan nuansa fantasi yang menyelimuti film ini, harapan agar kedua tokoh dapat bahagia, menjadi lebih besar.
Namun, film ini memilih untuk berjalan sesuai dengan realita yang biasa kita lihat di dunia nyata.
Trailer "Akhirat: A Love Story" (2021)
Walau penonton tahu bahwa akhir dari film ini hanyalah "ya" atau "tidak" bagi Timur dan Mentari untuk bisa bersama, perjalanan film ini dalam menggiring kedua tokoh utamanya menuju akhir film tetap dapat dinikmati. Film ini menyuguhkan momen indah saat kedua tokoh bersama, juga hubungan dengan orang-orang di sekitar mereka. Penonton dapat merasakan sedih saat Timur dan Mentari tidak bisa terang-terangan mengekspresikan cinta mereka di depan orang-orang terdekat mereka, senang saat melihat momen mereka berdua, serta terhibur akan humor-humor kecil yang mereka lontarkan sesekali (seperti nama "TIMUR" yang dibalik menjadi "RUMIT"), hanya supaya filmnya tidak terkesan terlalu serius dan membuat penonton lelah. Singkatnya, film ini sangat ringan karena sebagai penonton hanya cukup duduk dan menikmati.
Penolakan lingkungan terdekat Timur dan Mentari akan hubungan mereka berdua, adalah realita yang biasa kita lihat sehari-hari. Di film ini, akhirat yang akan mereka lalui bahkan berbeda sesuai agama mereka di dunia manusia. Sejujurnya, aku tidak terlalu yakin dengan akhirat yang ada di film ini, karena logika pada dunia akhirat pun hampir sama dengan logika dunia manusia. Aku masih belum mengerti mengapa visualisasi akhirat pada film ini berupa pepohonan tinggi, apa mungkin karena ini di Indonesia? Mungkin, aku akan lebih yakin kalau aku mengerti alasannya.
Sebenarnya, sepanjang film, banyak klu yang ditunjukkan kepada penonton demi membawa kedua tokoh utama menuju ending yang sesuai realita. Sejak awal, film ini lebih menonjolkan sosok Mentari. Film ini membahas cukup dalam tentang pekerjaan Mentari sebagai ilustrator, proyek buku ilustrasi pertamanya yang sedang ia garap, teman-temannya, hingga kesukaannya pergi ke museum. Sedangkan Timur hanya diceritakan bahwa ia seorang akuntan, yang bahkan tidak ada scene saat ia bekerja sebagai akuntan di film ini. Film ini seakan tidak menyediakan ruang bagi Timur untuk hidup, selain hidup sebagai pria yang sangat mencintai Mentari.
Singkatnya, hidup Timur hanya sebatas mencintai Mentari.
Ketika Timur dan Mentari berusaha mempertahankan hubungan mereka, mereka melawan dunia. Dunia manusia dan akhirat. Menariknya, di film ini, mereka memiliki pilihan yang cukup menjanjikan agar tetap bisa bersama, yakni di Rumah Panca Rona, sebuah tempat persinggahan arwah yang belum berangkat ke akhirat. Setelah melihat apa yang terjadi di Panca Rona, Timur dan Mentari hanya tinggal memutuskan untuk bersama di Panca Rona atau terpaksa berpisah karena harus menuju akhirat yang berbeda.
Sayangnya, mereka tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Mereka digerakkan oleh situasi, tepatnya situasi yang dibuat oleh filmmaker-nya. Menurutku, akhir dari film ini terlalu mengikuti logika dunia nyata untuk sebuah film bergenre fantasy.
Logika bahwa kedua agama yang berbeda tidak bisa bersatu.
Logika bahwa dunia cuma sementara, namun cinta selamanya (karena belum ada bukti cinta bisa selamanya).
Logika yang sama dengan yang biasa kita lihat sehari-hari.
Terlepas dari kisah cinta mereka, aku mengapresiasi terwujudnya film ini. Aku suka lagu-lagu yang dimainkan di film ini, semuanya terasa mengena dalam mengiringi kisah mereka. Perkembangan karakter tokoh Timur benar-benar terasa, yang awalnya egois berubah menjadi berhati besar.
Timur dan Mentari hanya mengikuti takdir, dan percaya cinta mereka bisa selamanya.
Akhirat: A Love Story sukses menampilkan realita bahwa manusia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Tuhan sudah mentakdirkan.
Dan "Tuhan" dari film ini, tentu filmmaker-nya!

0 Komentar